Wednesday, January 7, 2009

Tiga Saudara

Saya kira otak ini sudah buntu dan males, entah ada rudimenter atau apa tetapi saya harap otak saya baik-baik saja. Ketika baru saja kaki kembali tegar berdiri ditengah arus hidup, tiba-tiba kemalasan datang menyambut jiwa.

Saking malesnya, semua terasa hambar. Gak, ini bukan curhat ato sejenisnya, hahaha. Cuma pembuka setelah sekian lama tidak pernah menyentuh blog ini. Ya, masalah-masalah barusan itu penyebabnya, hahaha. Mungkin sedang capek dan bosan dengan rutinitas saja, saya jadi memilih buat menjadi pengamat untuk sementara.

Ada yang menarik di sela-sela waktu ini. Tentang warna hidup.
Hitam.
Putih.

Si hitam lebih menarik buat dijalani. Selalu jelas lebih cerdik, lihai. Walaupun jelas-jelas diiringi nafsu duniawi, tapi ini jaman edan bung, siapa peduli? Tunggu dulu. Gak selamanya Hitam itu hitam, kadang bodohnya dia juga membantu si Putih yang relatif lebih lugu. Hanya saja mengikuti si Putih ini bikin capek. Gimana gak capek? Tanya saja ke diri sendiri, enak yang mana?

Nah Abu-Abu ini dulu saya kira hipotetik saja, yaaaa bahasa Padangnya itu gak pernah ada atau hanya khayalan! Biar bohong-bohongan begini, si Abu-Abu punya banyak pengikut. Wong enak koq, ngegantung aja ditengah, gak perlu kemana-mana. Tambahan, Abu-Abu tidak pernah minta perjuangan sepenuh hati. Naif. Ini yang jadi sumber gregetannya saya, heran, kenapa harus ditengah kalau bisa memilih? Saya gak ngerti deh kalo Abu-Abu ini pasifis ato apa, kenetralannya dalam hidup bikin saya merinding. Ironisnya, mas penulis ini juga kadang "berguru" dan ngemong jalan hidup si Abu-Abu. Blah.

Kenapa harus bergantung kalau kita bisa memilih untuk tetap menapak tanah atau terbang tinggi? Toh hidup ini memang penuh kesalahan, siapa yang pernah mau ikut hitam? Banyak yang terbuai dengan sifatnya yang manis. Saat sadar bahwa kita ikut di jalan yang salah, barulah kita mengerti, Putih ada di dalam Hitam juga. Lalu siapa yang dengan niatnya mengikuti Putih? Dia terkadang juga masih saja terjerambab
kedalam si Hitam, atau malah kalian pake topengnya Putih saja ya???

Ini hanya argumen singkat. Opini saya sendiri, kadang ada saatnya Abu-Abu lebih layak diikuti, tapi untuk bersamanya sepanjang waktu itu bukan hal yang menarik untuk hidup.

Hitam ke kiri,
Putih ke kanan,
Beralih di persimpangan,
Bersama naik ke satu tujuan hati kita masing-masing.

Abu-Abu tak pernah tahu awal dan akhir.
Abu-Abu dengan cintanya berdiri tegar di tengah.


Maret 2007,
Redemptus

No comments:

Post a Comment